Seorang teman (lajang perempuan) pernah
menulis status di social media twitter miliknya: “pelukanmu tidak sehangat Zara
Coat”. Sederhana, itu hanyalah sebuah kicauan, tetapi mengapa bisa pelukan
seseorang dibandingkan kehangatannya dengan sebuah jaket bikinan produk fashion
asal Spanyol bernama Zara ini? Penulis sendiri tidak yakin kalau teman penulis
ini pengguna jaket ber-merk Zara, tapi dia senang menjadi buzzer atau promotor brand ini secara gratis di twitter karena dia
menyukai brand ini.
Zara bisa
menjadi sebuah impian bagi lajang seperti teman penulis itu untuk menjadi
sebuah simbol yang mampu mendefinisikan dirinya apabila dia memiliki salah satu
atau beberapa produk fashion milik Zara ini. Awal mula Zara bisa menjadi salah
satu impian bagi penggemar fashion dunia adalah dimulai dari Armancio Ortega dan Rosallia Mera
yang mendirikan Zara pada tahun 1975 dan bermarkas di
Arteixo, Gallicia – Spanyol. Produknya variatif dari jaket, shirt, dress,
sepatu dan kids wear. Di Indonesia, Zara memiliki
9 toko yang tersebar di beberapa kota besar. Louis Vuitton Fashion Director
Daniel Piette mendeskripsikan Zara sebagai "retailer yang paling inovatif
dan sangat efektif di dunia ini." Oleh CNN, Zara juga disebut sebut sebagai
"Spanish success story”. Zara bisa dibilang inovatif karena 1 model
produknya hanya diproduksi terbatas dan disebarkan ke lebih dari 500 outlet di
73 negara, sehingga tidak aka nada kesan “pasaran” ketika mengenakan produk
ini. Kerennya lagi, Zara berinovasi dengan mengeluarkan 10.000 desain terbaru
setiap tahunnya.
Melalui
tulisan ini, akan dibahas mengenai segmentasi dan positioning dari Zara. Menurut Kotler (2006 : 281) mengatakan
bahwa : “Segmentasi pasar membagi sebuah pasar ke dalam kelompok-kelompok
yang khas berdasarkan kebutuhan, karakteristik, atau perilaku yang mungkin
membutuhkan produk atau bauran pemasaran yang terpisah”.
Menurut
Kasali (2000 : 118) segmentasi adalah : “Suatu proses untuk membagi-bagi atau
mengelompokkan konsumen ke dalam kotak-kotak yang lebih homogen". Berdasarkan
teori tersebut, penulis mencoba menelaah segmentasi pasar brand Zara sebagai
berikut:
Sociographic:
1.
Urban area citizen
2.
SES A & B
Demographic:
1.
Laki-laki 40%
2.
Perempuan 50%
3.
Anak-anak 10% (70%
perempuan & 30% laki-laki)
4.
Usia Dewasa 20 – 40 tahun
5.
Usia Anak-anak 3-12
tahun
6.
Lajang 70%
7.
Menikah 30%
Psychographic:
1.
Classy
2.
Warm & humble
3.
Mixed casual & sophisticated
Berdasarkan segmentasi
yang dibentuk oleh Zara, maka penulis menyampaikan simpulan positioning yang
ingin dibentuk oleh Zara adalah sebagai: brand sebuah produk fashion yang
berkelas namun tetap berkarakter membaur dengan harga yang lebih terjangkau dibanding
produk yang dianggap “branded” lainnya. Merujuk pada teori positioning menurut
Phillip Kotler (2006) merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat
citra produk dan hal-hal yang ingin ditawarkan oleh perusahaan sehingga
berhasil mendapatkan posisi yang khusus dalam pikiran sasaran pasarnya.
Zara: And Anywhere
Could Be Runways. Demikian pendapat yang penulis kemukakan, karena dengan
segmentasi dan positioning yang dibentuk oleh Zara, konsumen atau pemakainya
dapat merasa seolah-olah sedang berjalan di runway untuk memamerkan produk
fashion Spanyol ini yang sedang mereka kenakan.
Daftar Pustaka
Kotler, Philip & Keller, Kevin Lane. Marketing Management. Pearson Prentice Hall: 2006
Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations. PT Temprint. Jakarta: 2000
Kotler, Philip & Keller, Kevin Lane. Marketing Management. Pearson Prentice Hall: 2006
Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations. PT Temprint. Jakarta: 2000
Komentar