Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.
Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran, semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika merupakan ilmu yang mempelajari peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Selain adanya muatan dusta dalam relasi antara tanda dan realitas, terdapat pula muatan kepalsuan (pseudo), yaitu ketika sebuah tanda berpura-pura mengungkapkan sebuah realitas padahal ungkapan tersebut palsu. Contoh yang paling sederhana dalam hal ini adalah penggunaan perhiasan emas imitasi. Orang tersebut ingin menunjukkan realitas mengenai kepemilikan “emas” sebagai atribut perhiasan bagi dirinya padahal sesungguhnya “emas” yang digunakan itu bukanlah emas yang sebenarnya (palsu/ imitasi).
Bagaimana dengan Hipersemiotika?
Hipersemiotika sebagai terminologi baru (neologi) tentunya memerlukan lebih lanjut penjelasan mengenai makna, prinsip dan aspek-aspeknya. Hipersemiotika yang berarti melampaui batas semiotika digunakan di sini untuk menjelaskan sebuah kecenderungan yang berkembang dengan mengembangkan beberapa prinsip yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Prinsip perubahan dan transformasi.
Hipersemiotika menekankan pada perubahan tanda ketimbang struktur tanda, produksi tanda-tanda ketimbang reproduksi kode dan makna, dinamika pembiakan tanda yang tak terhingga ketimbang relasi yang tetap.
2. Prinsip imanensi.
Hipersemiotika menekankan sifat imanensi sebuah tanda ketimbang sifat transedensinya. Dalam hal ini hipersemiotika bersifat menekankan berpikir dengan diri sendiri atau subyektif dan cenderung mengabaikan prinsip yang berasal dari ketuhanan.
3. Prinsip perbedaan atau pembedaan (difference). Hipersemiotika menekankan perbedaan ketimbang identitas, konvensi dan kode sosial. Hipersemiotika bukanlah mesin kebaruan (progress machine) seperti mesin modernisme yang mengharuskan adanya kebaruan melainkan lebih memproduksi perbedaan-perbedaan tanda yang tidak selalu baru.
4. Prinsip permainan bahasa (language game).
Hipersemiotika menekankan permainan bahasa yang mementingkan pesona dalam tindak produksi tanda itu sendiri bukan makna yang terkandung di dalamnya.
5. Prinsip simulasi.
Simulasi adalah penciptaan realitas yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai referensinya dan kini ia menjelma menjadi semacam realitas kedua yang referensinya adalah dirinya sendiri. Dalam pengertian inilah tanda melebur dengan realitas. Artinya lewat kecanggihan teknologi simulasi, antara tanda dan realitas tidak ada lagi bedanya. Fenomena seperti ini mudah di temui di internet seperti profil di media sosial.
6. Prinsip diskontinuitas.
Menampilkan ekstensi yang penuh interupsi, keterputusan dan persimpangan yang di dalamnya tercipta sebuah ruang bagi perbedaan-perbedaan dan permainan bebas tanda dan kode-kode,
Hipersemiotika dengan demikian adalah sebuah ilmu tentang produksi tanda yang melampaui realitas yang berperan dalam membentuk dunia hiper-realitas. Dunia hiper-realitas, dalam hal ini adalah dunia yang tercipta akibat penggunaan hyper-signs atau tanda yang berlebihan dan system pertandaan yang berlebihan (hyper signification) dalam penggambaran realitas, sehingga perbedaan antara realitas/ non realitas, tanda/ realitas di dalamnya menjadi lebur.
Di resume dari:
Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika: kode, gaya dan matinya makna. 2010. Bandung:
Jalasutra
Komentar