Persaingan dalam dunia bisnis kian ketat, berbagai perusahaan
berlomba-lomba berkreasi se-kreatif mungkin untuk membuat program marketingnya
termasuk pengolahan ide iklan. Lihat saja di televisi, berbagai iklan diputar
di sela-sela tayangan program televisi tersebut. Bila iklan tidak dibuat
semenarik mungkin, maka orang akan lebih memilih untuk mengganti channel
televisi daripada melihat iklannya. Sama juga dengan iklan di media pajang
seperti billboard. Laju kendaraan dan padatnya lalu lintas membuat orang sulit
untuk fokus pada suatu iklan tertentu. Berdasar dari insight itulah, berbagai pembuat iklan selalu berusaha membuat
iklan yang unik, berbeda dan menarik.
Etika?
Ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (KBBI).
Unik
dan menarik-nya sebuah iklan bisa menimbulkan kontroversi apabila tidak mengacu
pada kaidah etika. Selayaknya pembuatan konsep kreatif sebuah iklan mengacu
pada ciri iklan yang baik yaitu:
·
Etis: berkaitan dengan kepantasan.
·
Estetis: berkaitan dengan kelayakan (target market,
target audiennya, kapan harus ditayangkan?).
·
Artistik: bernilai seni sehingga mengundang daya tarik
khalayak.
·
Jujur : tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan
kondisi produk yang diiklankan
·
Tidak memicu konflik SARA
·
Tidak mengandung pornografi
·
Tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
·
Tidak melanggar etika bisnis, ex: saling menjatuhkan
produk tertentu dan sebagainya.
·
Tidak plagiat
Sejarah
Etika Periklanan Di Indonesia
Aturan, tata cara dan etika dalam beriklan sempat
menjadi perbincangan di masa periklanan modern Indonesia pada tahun 1978 yaitu
inisiatif untuk melahirkan Tata Krama Periklanan Indonesia. Contohnya saat itu
pemerintah Indonesia mendukung dibentuknya Dewan Periklanan Nasional yang
beranggotakan PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), SPS (Seikat
Penerbit Surat kabar), TVRI & RRI, PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta
Niaga Indonesia, GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) dan YLKI
(yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Sayangnya dewan itu hanya berusia satu
tahun sebelum pada akhirnya dibubarkan. Tata Krama Periklanan Indonesia yang
dicita-citakan akan lahir dari Dewan Periklanan Nasional tidak sempat menjadi
kenyataan. Beberapa pendapat mengatakan beberapa hal bahwa terutama ini karena
tekanan dari pengelola media cetak yang menginginkan agar kode etik periklanan
mengacu pada Kode Etik Penerbitan Pers yang sudahh dimiliki dan diberlakukan
oleh SPS bagi par anggotanya.
Pada pertengahan tahun 1980, Aspindo (Asosiasi
Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia) memprakarsai sebuah Simposium
Periklanan Nasional bersama PPPI, SPS dan PRSSNI. Semua draft dan butir-butir
pikiran Tata Krama Periklanan Indonesia yang pernah dirumuskan di masing-masing
organisasi “dipertemukan” dalam simposium ini dan dibahas secara bersama.
Menjelang akhir tahun 1980, sebagai kelanjutan dalam
Simposium Periklanan Nasional, diselenggarakan Konvensi Masyarakat Periklanan
Indonesia untuk mencoba merumuskan sebuah rancangan Tata Krama Periklanan
Indonesia yang dapat disepakati bersama. Setelah melalui persidangan sebanyak
68 kali dalam waktu delapan bulan, akhirnya lahirlah Tata Krama dan Tata Cara
Periklanan Indonesia. (TKTCPI).
ETIKA PARIWARA INDONESIA (EPI)
(Disepakati Organisasi Periklanan dan Media Massa,
2005). EPI merupakan acuan terkini dalam mengatur pembuatan iklan supaya tetap
mengacu kaidah etika sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku di Indonesia.
Terdapat dua puluh tujuh poin yang menjadi aturan atau etika dalam beriklan di
indonesia.
Melalui
tulisan ini, penulis tidak akan menjabarkan ke-dua puluh tujuh poin tersebut.
Namun penulis akan mengacu pada beberapa poin saja yang disinkronkan dengan
iklan media cetak berikut ini:
Iklan
tersebut di atas bukan hasil produksi dari insan periklanan di Indonesia. Dalam
asumsi penulis, iklan sebuah produk soft
drink ini bermaksud mengusung imej sebagai minuman yang mampu menghilangkan
rasa takut dan memunculkan rasa senang. Oleh sebab itu kreator menggambarkannya
dengan orang yang akan dihukum gantung namun justru berekspresi senang melalui
senyumannya ketika minum soft drink tersebut.
Bila dikorelasikan dengan aturan
etika periklanan dalam Etika Pariwara Indonesia, iklan media cetak tersebut
berbenturan dengan dua poin dalam aturan ini yaitu poin ke sembilan dan ke
sepuluh yang berbunyi sebagai berikut:
9. Rasa Takut dan Takhayul: Iklan tidak
boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan
kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
10. Kekerasan: Iklan tidak boleh – langsung maupun
tidak langsung -menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan
membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.
Iklan
tersebut menjadi berbenturan dengan EPI karena secara visual dapat menimbulkan
rasa takut melalui gambaran kekerasan (algojo dan hukum gantung).
Disangkutkan
dengan hal lainnya, pada bulan Juni 2012 lalu, Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia (P3I) DKI Jakarta bekerjasama dengan PT Fonterra Brands Indonesia,
perusahaan susu yang berpusat di Auckland, New Zealand, baru-baru ini menggelar
diskusi “Etika Periklanan: Pedoman Periklanan Produk Pangan” di Ritz Carlton,
Jakarta. Diskusi tersebut merupakan wadah komunikasi terbuka antar semua pihak
yang terlibat dalam penayangan pariwara, yaitu industri periklanan, pebisnis,
pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat terkait.
Membuka
acara diskusi, Ketua P3I DKI Jakarta, Irfan Ramli mengatakan bahwa pedoman
periklanan yang ada saat ini belum cukup sempurna untuk dapat mengikuti
perkembangan dunia iklan baik dari segi kreativitas, maupun media sehingga diperlukan
adanya pembaruan periklanan. Banyak biro iklan yang belum termasuk dalam
keanggotaan P3I, sehingga P3I sendiri cukup kesulitan untuk memantau semua
konten media beriklan. Untuk menayangkan iklan produk pangan pada khususnya,
banyak kepentingan yang terlibat. Namun dengan adanya ketentuan-ketentuan
periklanan seharusnya pekerjaan ini bisa lebih mudah. Agensi iklan tetap bisa
menjaga kreativitasnya di jalur yang sesuai dan produsen tetap bisa
mengiklankan produknya, meskipun harus tetap mengikuti pedoman periklanan
produk pangan dari BPOM.
Mengenai
keterkaitan Badan POM dalam hal ini, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan
dan Bahan Berbahaya Badan POM RI Roy A. Sparringa dalam pertemuan tersebut
menyampaikan bahwa dalam membuat peraturan terkait keamanan pangan,
selama ini BPOM berpegang pada pedoman CODEX, yaitu komisi di bawah Food
andAgricultural Organization (FAO) dan World Health
Organization (WHO) yang mengatur standardisasi keamanan pangan. CODEX
juga sudah banyak diperhatikan oleh perusahaan besar. Saat ini, Badan POM
tengah mengembangkan dan memperbaiki pedoman yang mengatur mengenai produk
pangan, khususnya tentang periklanan. Pedoman ini memiliki ketentuan dasar
bahwa sebuah iklan harus benar dan tidak menyesatkan, mengingat
eratnya hubungan antara iklan dengan persepsi konsumen.
Dalam
pembuatan iklan sendiri, menurut Roy A. Sparringa, terlebih mengenai penayangan
iklan di media elektronik, masyarakat khususnya anak-anak cenderung mudah
menyerap pesan dari iklan-iklan yang ditayangkan di TV, sehingga para pelaku
iklan harus lebih cermat dan memahami perilaku konsumen. Di sinilah etika mulai
berperan dalam memberikan tata krama dan tata cara beriklan agar
pelaku usaha sebagai pengiklan dan asosiasi iklan bertindak sesuai dengan
aturan.
Dapat
disimpulkan dari diskusi ini bahwa dalam melaksanakan etika periklanan,
khususnya untuk produk makanan dan minuman, diperlukan kerjasama yang kondusif
antara badan yang berwenang dan pihak pengontrol iklan yakni industri,
pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian etika periklanan menjadi usaha nyata
untuk memberikan informasi yang benar dan mendidik kepada konsumen serta
meningkatkan kualitas industri periklanan sesuai dengan perkembangannya.
Penulis juga
ingin menyampaikan tentang pandangan kritis konsumen Indonesia saat ini selain
mengenai kandungan dalam produk makanan dan minuman juga adalah status halal
dan haramnya produk konsumsi tersebut. Jadi dalam pandangan penulis, dalam
iklan produk makanan dan minuman seharusnya memegang etika periklanan dengan
mencantumkan keterangan lolos uji klinis BPOM serta keterangan halal dari MUI.
Merujuk pada
contoh kasus iklan media cetak di atas, apabila iklan tersebut muncul di
Indonesia, selain melanggar 2 poin dalam Etika Pariwara Indonesia, menurut
penulis juga iklan minuman tersebut belum memenuhi norma iklan di Indonesia
untuk mencantumkan lolos uji klinis BPOM RI dan juga keterangan halal dari MUI
(Majelis Ulama Indonesia).
Daftar
Pustaka
Winarno, Bondan. Rumah
Iklan: Upaya Matari Menjadikan Periklanan Indonesia Tuan Rumah Di negeri
Sendiri. 2008. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
http://ruangdosen.wordpress.com/2010/04/04/etika-dalam-periklanan/
http://the-marketeers.com/archives/peran-etika-periklanan-produk-makanan-dan-minuman.html
Komentar