Peran
perusahaan dalam menjaga keseimbangan alam ternyata sudah diterapkan beribu
tahun sebelum masehi. Hal tersebut tercantum dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi
bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan
kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati
diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan izin penjualan minuman,
pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga
menyebabkan kematian orang lain. Ke-282 hukum dalam Kode Hammurabi
itulah sebagai tonggak awal munculnya Corporates Social Responsibility.
Lebih
dari 4.000 tahun kemudian, banyak perusahaan (corporate) berlomba-lomba
mensosialisasikan program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka melalui
media massa. Karena selain untuk menjaga keseimbangan alam, CSR ternyata juga
berperan penting untuk publisitas dan pembentukan citra sebuah perusahaan.
Pakar teori manajemen Peter F. Drucker membahas secara serius bidang CSR pada
tahun 1984, Drucker berpendapat: ”But the proper ‘social responsibility’ of
business is to tame the dragon, that is to turn a social problem into economic
opportunity and economic benefit, into productive capacity, into human
competence, into well-paid jobs, and into wealth”. Pernyataan tersebut telah memberikan ide baru agar korporasi
dapat mengelola aktivitas CSR yang dilakukannya dengan sedemikian rupa sehingga
tetap akan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan. Sehingga perlu dilakukan
aktivitas CSR yang memiliki keberlanjutan demi keberlangsungan perusahaan
(sustainable responsibility for sustainable corporate).
Melalui
esai ini, penulis akan menyampaikan ulasan mengenai program CSR dari beberapa perusahaan,
tentang tingkat sustainability-nya serta pencitraan yang terbentuk.
Body Shop and The “Woods Positive”
Sebagai
perusahaan kosmetik yang beritikad untuk menjaga keberlangsungan perusahannya,
Body Shop juga telah menerapkan “no animal tested” yaitu tidak menguji cobakan
secara klinis kandungan yang terdapat dalam kosmetiknya kepada binatang. Karena
isu penyelamatan binatang di negara maju khususnya Eropa dan Amerika menjadi
hal yang sangat sensitif. Namun bukan hal itu yang ingin penulis kaji lebih
dalam, melainkan tentang program “Woods Positive” yang dijalankan oleh Body
Shop.
Woods
Positive merupakan program CSR Body Shop untuk penyelamatan hutan sekaligus
kampanye kemasan ramah lingkungan karena Body Shop menggunakan kertas yang
telah disertifikasi eco-label untuk mengemas produknya. Woods Positive memiliki
fokus terhadap 2 dari kategori hutan terbesar di dunia yaitu Atlantic
Rainforest di Brazil serta Southern Andes di Ekuador.
2
hutan tersebut menjadi fokus utama Body Shop karena selain terdapat pohon-pohon
besar yang berusia ratusan tahun yang berkontribusi sebagai “paru-paru dunia,
hutan-hutan tersebut juga tempat bernaung hewan-hewan yang nyaris punah seperti
beruang, tapir dan puma. Sepanjang 2012 ini, Body Shop mencanangkan untuk
melindungi sebanyak 45.000 pohon serta melakukan penanaman sebanyak 55.000
bibit pohon.
Melihat program ini,
penulis menilai bahwa Body Shop memahami pentingnya artinya konservasi dari
sekedar reboisasi. Karena bagaimanapun juga peran pohon-pohon besar di
hutan-hutan tersebut tidak bisa langsung digantikan oleh bibit-bibit pohon yang
ditanam. Secara publisitas, dalam CSR ini Body Shop telah menjadi top of mind
bagi konsumennya sebagai produk kosmetik premium yang ramah lingkungan.
Pertamina Scholarship
Pertamina adalah sebuah perusahaan pertambangan
minyyak dan gas bumi terbesar milik pemerintah. Dengan konsep perusahaan yang
produknya mengambil dari Sumber Daya Alam, seharusnya dalam program CSR-nya,
Pertamina banyak melakukan program untuk pemulihan alam. Entah sudah dilakukan
atau belum, namun melalui website www.pertamina.com yang dipublikasikan adalah
program Pertamina Scholarship sebagai mana dikutip penulis sebagai berikut
“....Kepada mahasiswa ITB, Pertamina
mengeluarkan anggaran Rp 1 milyar. Sementara untuk beasiswa S-2 PNS, Pertamina
mengeluarkan anggaran Rp 1,8 milyar. Angka yang besar ini tentu harus diikuti
dengan target. Tidak hanya prestasi akademik mahasiswa, tetapi kemanfaatan
beasiswa itu bagi tumbuhnya kemandirian, kemajuan dan pembangunan bangsa ke
depan. Disinilah pentingnya melihat isu-isu pembangunan strategis yang menjadi
prioritas bidang keilmuan yang perlu mendapatkan perhatian untuk diberikan
beasiswa.”
Pengaturan CSR
di Indonesia terdapat pada Undang – Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dan Undang – Undang 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Dalam UUPT
pengaturan tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan hanya di atur dalam
pasal 74, pasal tersebut berisi tentang: “1.
perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan;”
Berarti selain tanggung
jawab sosial, Pertamina seharusnya memiliki tanggung jawab lingkungan. Dari
publisitas yang dilakukan, menurut penulis, program CSR yang dijalankan
Pertamina juga dirasa kuurang relevan karena beasiswa yang diberikan kurang
mengacu pada aspek sosial yang lebih komprehensif semisal pemberdayaan
pendidikan di daerah terpencil yang masih banyak anak putus sekolah, bukan di
universitas ternama atau bahkan untuk S2 PNS.
Djarum and the “Cultural Initiatives”
Menurut
penulis, publisitas akan kegiatan CSR Djarum sudah dilakukan dengan baik. Nyaris
semua sektor oleh Djarum dibuat CSR-nya mulai dari lingkungan, pendidikan,
olahraga bahkan seni dan budaya. Belum banyak perusahaan yang mengeksplorasi
budaya untuk program CSR-nya. Kebetulan Djarum menjadi salah satu yang memiliki
kepedulian terhadap hal tersebut.
Dalam
program Cultural Initiatives-nya, Djarum membuat kampanye “Indonesia Kaya” yang
disosialisaikan secara online maupun offline. Untuk online, dibuatlah website www.IndonesiaKaya.com
serta interaksi dengan fans maupun follower melalui facebook IndonesiaKaya dan
twitter @IndonesiaKaya.
Sedangkan
untuk kegiatan offline, secara berkesinambungan Djarum menjadi sponsor
acara-acar yang memiliki kepedulian terhadap seni dan budaya, contohnya
pertunjukkan Beta Cinta Nusantara karya Guruh Soekarno Putra dan Modern Library
of Indonesia.
Coca Cola: Penyelamatan Lingkungan Sekaligus Perluasan Lapangan Kerja
Sejak 2008, Coca Cola bekerja sama
dengan QuickSilver membuat gerakan Bali Beach Clean Up and Turtle Conservation.
Kegiatan ini melibatkan pemuda-pemuda lokal untuk melakukan pembersihan di
pantai-pantai di Bali secara reguler demi menjaga keberlangsungan ekosistem
laut termasuk melakukan konservasi terhadap penyu. Berikut kutipan di web
www.coca-colaamatil.co.id “Masyarakat setempat
mengatakan bahwa lebih banyak penyu menetaskan telur mereka di pantai.
Hal ini memicu kami untuk mengembangkan fasilitas pembenihan yang dikenal
sebagai Kuta Beach Sea Turtle Conservation (KBSTC) ntuk melindungi penyu dan
membantu mereka kembali ke habitat alami mereka. Sejak pembangunannya, kami
telah melindungi sekitar 7.600 telur penyu”.
Dengam melibatkan masyarakat setempat, dalam hal ini Coca Cola telah
melakukan kegiatan CSR dalam aspek sosial sekaligus lingkungan. Namun dari segi
publisitas, program ini sepertinya gaungnya hanya terdengar di Bali saja.
Simpulan
yang bisa disampaikan dalam uraian ini adalah perlunya kesadaran bagi setiap
perusahaan bahwa dalam menjalankan usahanya mereka telah mengambil potensi baik
dari sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sehingga perlu dilakukan
keseimbangan dengan melaksanakan program CSR dalam lingkup sosial dan
lingkungan demi keberlangsungan usaha dan aspek-aspek di sekitar yang mendukung
usaha tersebut.
Referensi:
Hendrik Budi Untung, Corporate social
responsibility , Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 1.
Isa Wahyudi, Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility,
In-Trans Publishing, Malang, 2008, hlm 35-36.
http://blog.auditor-internal.com/?p=8
Komentar