Langsung ke konten utama

Mempertegas Karakter Solutif dengan Mengolah Obiter Dictum

figure: Socrates, source- http://teamsuperforest.org/superforest/wp-content/uploads/2009/12/socrates.jpg

“Kak, aku sebel deh sama pacarku, dia bawaannya curiga melulu...” atau “Mbak, saya tuh kalau ngomong sama klien di telepon lancar tapi kalau presentasi kayaknya saya nggak bakat deh..” atau “Gimana nih bro, gue dah nglamar ke mana – mana tapi blom dapet kerjaan juga...”. Beberapa dari kita kemungkinan sering menerima curhatan dengan nada seperti itu meskipun kita sendiri lagi pusing ditengah menghadapi bermacam – macam masalah. Memang terkadang kita juga perlu defense terhadap buangan keluhan – keluhan dari berbagai macam human being yang ada di sekitar kita. Namun satu hal yang perlu disyukuri adalah: Kita diberi kepercayaan oleh orang – orang yang melihat kapabilitas, stabilitas kita berada di atas mereka dikarenakan mereka sedang bergejolak.

Adalah Obiter Dictum, suatu istilah hukum dimana hakim memberikan pernyataan persuasif yang sebenarnya bukan suatu esensi dari kasus yang sedang dihadapi melainkan untuk memberikan persuasi secara moral kepada khalayak di ruang sidang tentang suatu contoh yang bisa diteladani (berkorelasi dengan kasus tersebut, thus... no objection when the point has it!). Hakim juga manusia, tentu saja dia juga mempunyai masalah pribadi. Tapi setiap orang yang sedang punya masalah yang harus diselesaikan secara hukum, menganggap hakim adalah subjek tertinggi yang akan menuntaskan masalahnya. Tentu saja yang diharapkan dari Sang hakim tidak hanya judgement tapi juga Obiter Dictum itu sendiri.

Siap menerima berkah dengan mendapat level hierarki yang lebih tinggi berarti juga siap menghadapi level masalah yang lebih kompleks. Pada posisi ini, kita sudah tidak bisa lagi hanya sekedar memberikan judgement seperti “ya itu sudah betul, lanjutkan aja....” (tanpa ada tips – tips khusus supaya lebih bagus kedepannya) atau “itu jelas kamu yang salah, lain kali jangan kayak gitu yah” (tanpa mengarahkan solusi apa kira – kira yang sesuai untuk membayar kesalahan tersebut). Memang tidak bisa dibilang mudah untuk bisa memunculkan solusi persuasif yang membuat objek pengeluh menjadi paham tentang apa yang harus dia lakukan sekaligus tetap menganggap kita kredibel sebagai problem solver. Tapi hal ini juga bukan berarti –tidak mungkin-, semuanya itu bisa diawali dengan menjadi “tempat sampah” yang menampung segala macam hal yang dengan berani harus kita hadapi dan tampung; keluhan orang, kritikan orang, komplain bahkan pujian sekaligus karena memang benar adanya bahwa Obiter Dictum akan mudah diungkapkan bila berdasar dari pengalaman. Kalau tidak bagaimana mungkin hal ini bisa persuasif? Percayalah, bila kita berada dalam posisi tempat sampah, suatu saat pasti bisa meng-upgrade diri dari recycle bin menjadi wikipedia atau bahkan google.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Garri Juanda, Tentang Karir, Bisnis dan Tentang Anak

Apa yang membuat AW&Co (PR & MarComm Consulting) tertarik mengulas Garri Juanda berawal dari kiprahnya yang pernah menjabat sebagai Chief Operating Officer (COO) Tokopedia. Ia telah bergabung dengan Tokopedia sejak tahun 2016 dan telah memegang berbagai posisi, termasuk Vice President of Marketplace dan Co-Head of Marketplace. Garri lahir dan besar di Jakarta. Ia lulus dari SMA Negeri 6 Jakarta pada tahun 2003 dan kemudian melanjutkan kuliah di Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang, dengan mengambil jurusan Business Administration. Setelah lulus dari universitas pada tahun 2007, Garri bekerja sebagai konsultan manajemen di McKinsey & Company selama dua tahun. Pada tahun 2009, Garri bergabung dengan Rakuten, perusahaan e-commerce terbesar di Jepang. Di Rakuten, Garri bekerja sebagai product manager dan kemudian sebagai lead corporate planning officer. Selama bekerja di Rakuten, Garri terlibat dalam pengembangan berbagai produk dan layanan baru, termasuk Rakuten Mar...

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan...

Kalau (Pak) Andin Rahmana Ngobrol Digital Marketing

Andin Rahmana, seorang profesional di bidang digital marketing adalah relasi AW&Co Communication & Business consulting sejak beliau masih di Yogyakarta pada medio tahun 2012. Sebagai seorang ayah dengan dua anak, Andin terbiasa “juggling” dalam aktivitas sebagai kepala keluarga dan karir yang dijalani. Saat ini, Andin menjabat sebagai Head of Academic & Community di Purwadhika Digital Technology School. Padahal, Saat Kuliah Ingin Jadi Penyiar Perjalanan karir Andin dimulai dari minatnya pada dunia penyiaran. Saat masih menempuh studi S1 di bidang komunikasi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Andin mencoba peruntungannya menjadi penyiar di radio Swaragama FM, sebuah radio terkenal di Yogyakarta. Meskipun suaranya belum memenuhi kriteria sebagai penyiar, pihak manajemen Swaragama melihat potensi Andin di bidang lain, yaitu digital marketing. Andin pun memulai karir pertamanya di bidang digital marketing pada tahun 2010 dengan mengelola website serta akun Twitter dan Face...